Cerpen

 

Bunga di Pinggir Jalan

Seorang gadis berjalan sendiri menyusuri jalan. Ia sudah sangat hafal betul jalan menuju ke sekolahnya. Jalan tanah yang separuh tertutup bayangan pohon, dan sisinya dipenuhi bunga-bunga liar. Tidak banyak orang menyadari kehadiran bunga-bunga itu. Mereka kecil, tumbuh begitu saja, sering kali dikelilingi kerikil, kadang daun, ataupun sampah. Tapi, Nina melihat mereka setiap ia  melewati jalan itu.

Pada suatu pagi saat hujan belum sepenuhnya berhenti, Nina melihat sesuatu yang berbeda. Seorang pria tua duduk di bangku kayu yang biasanya kosong dan agak miring. Pak Tono, orang-orang sering memanggilnya begitu. Lelaki yang berjalan tanpa arah, kadang bicara sendiri, kadang tertawa pelan seperti mendengar lelucon yang hanya dipahami angin.

Namun pagi itu, ia tidak melangkah. Ia duduk. Di pangkuannya, sebuah pot kaca kecil. Di tangannya, botol semprot.

“Lihatlah bunga ini, Nak,” katanya tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi jelas. Seperti suara dari dalam mimpi yang tidak ingin dibangunkan.

Nina ragu. Tapi ia mendekat juga.

Di dalam pot, bunga mawar kecil. Warnanya pucat, batangnya condong ke satu sisi, seperti sudah lelah berdiri.

“Dia hidup, tapi hampir tak kelihatan,” lanjut Pak Tono. “Tapi tetap hidup.”

Nina tidak menjawab. Tapi sesuatu di dadanya bergerak. Sejak itu, tiap sore, ia mulai ikut menyiram bunga. Tidak banyak bicara. Kadang hanya mengangkat bahu, kadang menunduk dan memperhatikan tanah basah. Mereka tidak berjanji, tidak membuat kesepakatan. Tapi entah bagaimana, mereka bertemu lagi. Dan lagi.

Pak Tono bercerita. Tentang istrinya. Tentang kehilangan. Tentang hari-hari sepi yang terlalu panjang, seperti lorong tanpa ujung. Tentang bunga-bunga yang tetap tumbuh meski tidak diminta.

“Cinta itu tidak selalu butuh tempat megah,” katanya suatu hari. “Kadang cukup pot kecil dan sedikit cahaya.”

Nina tidak banyak bicara. Tapi ia mendengar. Karena kadang, mendengar sudah lebih dari cukup.

Lalu suatu hari, saat matahari baru saja pindah dari timur ke tengah langit, Nina melihat Dika dan teman-temannya bermain di dekat taman kecil mereka. Tertawa, lari, loncat-loncat. Hingga kaki mereka menginjak bunga. Tak sengaja. Tapi tetap saja, kelopak-kelopak yang rapuh itu patah tanpa sempat berteriak.

Hati Nina mencelos. Ia maju, nyaris tanpa sadar.

“Jangan injak mereka,” ucapnya.

Anak-anak itu terdiam. Memandangnya sejenak. Lalu, seperti mengerti sesuatu tanpa tahu apa, mereka mundur.

Sejak itu, mereka datang kembali. Tapi kali ini membawa kaleng bekas cat berisi air. Ada yang menyiram. Ada yang memberi nama pada bunga liar dinamai bunga merah oleh Sinta, bunga kuning dipanggil Gendis. Taman kecil itu perlahan menjadi tempat singgah. Untuk tawa, untuk diam, untuk hal-hal yang tidak perlu alasan.

Postingan populer dari blog ini

Tugas Membuat Puisi

Hari Pertama Menulis di Blog

Kegiatan Singkat Hari Ini